Wednesday, February 29, 2012

25-2-2012

    Tanggal tersebut mungkin bukan tanggal peringatan apa-apa, hanya ada 1 kejadian spesial yang cukup membuatku "wow". Biasanya aku ke gereja hari Minggu, tapi karena ada basket hari Minggu, jadilah aku ke gereja hari Sabtu dan membatalkan rapat Discerning. Kupikir hari itu akan biasa-biasa saja. Misa berlangsung seperti biasa, saat homili aku juga sempat tertidur, lalu misa berakhir juga seperti biasa.


    Yang luar biasa adalah ketika pulang, memang aku dan mama mampir ke Gua Maria lumayan lama, karena mama berdoa novena di sana. Aku menunggu mama di pinggir gua, sambil lihat-lihat sekelilingku. Orang gereja sudah banyak yang pulang; di dalam Gua Maria hanya ada aku, mama, seorang ibu dan anak perempuannya. Aku perhatikan ibu dan anaknya, dari penampilannya mereka terlihat seperti orang yang kurang mampu. Ibu dan anak tersebut bercakap-cakap cukup lama dan sempat berpeluk-pelukan, tapi aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Tanpa aku duga, si ibu mengajak aku bicara. Aku yang saat itu lagi lihat BB, sampai kaget. Si ibu berbasa-basi menanyakan aku dari mana dll, dan percakapan berlanjut cukup cepat. Ternyata si ibu dan anaknya adalah korban lumpur Lapindo, Porong-Sidoarjo. Tujuan mereka ke gereja adalah ingin curhat ke romo; sayangnya romo "menolak" mereka karena ada kesibukan. Oleh karena itu, jadilah ibu dan anak itu berdoa di Gua Maria. Si ibu juga bercerita banyak hal mengenai kehidupannya, keluarganya, keadaan ekonominya, anak-anaknya, kesehatannya, dsb.


    Dari semua ceritanya, ada beberapa poin yang aku refleksikan setelah kejadian tersebut :
  1. Si ibu bercerita bahwa pastoran paroki seringkali "menolak" kehadiran orang-orang seperti dirinya, dan memberikan alasan-alasan yang kurang masuk akal sebagai bentuk penolakan halusnya. Refleksiku adalah gereja bukan merupakan "tempat penampungan" bagi orang kurang mampu, tapi gereja selalu terbuka bagi siapapun yang datang dan meminta pertolongan. Bayangkan bila gereja "menampung" satu orang saja di area gereja, pasti orang-orang lainnya akan berbondong-bondong datang dan meminta perlakuan yang sama.
  2. Si ibu bercerita bahwa ia tidak mampu membiayai lagi sekolah anaknya dengan rincian SPP Rp 75.000,- dan uang gedung Rp 300.000,-. Suster kepala sekolah (menandakan sekolahnya adalah sekolah Katolik) menolak memberikan keringanan berupa cicilan. Akhirnya anak tersebut putus sekolah. Refleksiku adalah biaya sekolahnya setara dengan biaya 2 sks di Teknik Sipil Petra, benar? Betapa jauh kesenjangan ekonomi yang ada, dibandingkan dengan diriku yang mungkin tidak pernah mengalami hal-hal semacam itu.
  3. Si ibu bercerita bahwa hidup di pengungsian Porong tidak enak karena menganggur, nothing to do, semua hari adalah sama, dan hidup dalam keadaan seperti itu sudah berjalan 6 tahun. Refleksiku adalah libur semester yang hanya 2 bulan saja sudah membuat orang mati bosan ya? Bayangkan bila 6 tahun dan tidak memiliki keahlian apa-apa yang bisa dilakukan.
  4. Si ibu bercerita bahwa nanti malam ia dan anaknya akan JALAN KAKI ke Wonokromo untuk cari bus, karena kereta api sudah tidak ada hari itu. Refleksiku adalah jarak rumah-Petra memang jauh dan bisa membuatku mengeluh kenapa harus kuliah di Petra dsb. Tapi setidaknya aku punya kendaraan dan bukannya berjalan kaki...
  5. Si ibu bercerita bahwa rumahnya belum diberi ganti rugi akibat lumpur Lapindo itu dikarenakan cicilan rumah belum selesai terbayar. Entah bagaimana solusinya, yang jelas setiap minggu selalu saja ada warga RT/RW yang meminta tanda tangan untuk petisi. Refleksiku adalah ternyata seperti itu ya repotnya jadi korban Lapindo. Dulu tiap kali baca koran dan menemukan berita korban Lapindo memblokade jalan raya Porong, lalu selalu yang kupikirkan adalah mereka adalah orang-orang yang menyusahkan, membuat macet, dan sejenisnya. Padahal kenyataannya adalah aku belum pernah merasakan sendiri seperti apa kehidupan mereka.
  6. Sebenarnya masih banyak cerita-cerita lain dari si ibu, tapi cukuplah aku tuliskan yang di atas. Dari semua refleksi, aku jadi makin tersadar (sebelumnya juga sudah sadar sih) bahwa aku sudah diberikan banyak kelimpahan, bukan saatnya aku mengeluh. Aku berharap yang terbaik untuk ibu dan anak perempuannya. Semoga kehidupannya membaik dan terus membaik. Amin. Demikian sharing saya hari ini :)

Monday, February 6, 2012

Jurnal Ilmiah?

    Di tengah pembuatan tulisan mengenai lulusan sarjana instan, aku dikejutkan oleh berita dari blognya Pak Wiryanto mengenai peraturan baru dari Dirjen Dikti.
    Intinya bahwa :
  1. Untuk lulus S1 >> wajib menghasilkan makalah yang terbit di jurnal ilmiah
  2. Untuk lulus S2 >> wajib menghasilkan makalah yang terbit di jurnal ilmiah nasional yang terakreditasi Dikti
  3. Untuk lulus S3 >> wajib menghasilkan makalah yang terbit di jurnal internasional
  4. Dan setelah dibaca dengan lebih seksama surat dari Dikti, alasan diberlakukannya peraturan baru ini adalah karena "iri" pada Malaysia. Kekonyolan Indonesia untuk kesekian kalinya? Iri karena jumlah jurnal ilmiah Indonesia hanya sepertujuh jurnal ilmiah Malaysia.
    Bukankah ini lagi-lagi berbicara soal KUANTITAS, dan bukan KUALITAS nya?
    Mengapa juga baru sekarang peraturan seperti ini diberlakukan? Padahal Pemerintah tentu tahu dengan masyarakat Indonesia yang tidak terbiasa menerima perubahan mendadak seperti ini. Peraturan ini akan berlaku bagi lulusan setelah Agustus 2012. Berarti aku juga termasuk di dalamnya? Hahaha.
    Belum lagi persiapan cetak jurnal ilmiah, mampukah jurnal ilmiah menampung semua tulisan mahasiswa. Kalau tidak terpublikasi, maka tidak akan lulus sarjana ya? Mahasiswa dan universitas yang jadi korban.
    Yang paling parah : Peraturan Dikti yang dikeluarkan ini tidak disertai dengan penjelasan megenai batasan jurnal ilmiah. Tulisan seperti apakah yang dikategorikan sebagai jurnal ilmiah? Siapa saja yang akan menilai kelayakan jurnal ilmiah? Tentu tidak bisa dibohongi juga bila nantinya akan bermunculan oknum-oknum tidak bertanggungjawab yang melayani pembuatan jurnal ilmiah. Percaya?
    Sampai dengan hari ini, masih tidak ada tanda-tanda Dirjen Dikti akan menjelaskan peraturan baru ini.
    Memang ada bagusnya bila menulis dibudidayakan pada negeri ini. Tetapi bukan dengan jalan pintas dipaksakan seperti ini. Ada baiknya bila aturan menulis tidak diwajibkan melainkan sebagai optional saja, dan penulis akan diberi sertifikasi penghargaan oleh Dikti.

Friday, February 3, 2012

Kutu Buku

Dari kecil aku dijuluki "kutu buku". Dan baru sekarang aku menemukan kutu buku yang asli. Lihatlah perbuatannya atas buku-bukuku!




Btw, yang dimakan sama kutu buku ini cuma kertas-kertas lama yang warna coklat lho. Kertas baru yang putih sama sekali ga dimakan, padahal letaknya persis di sebelahnya kertas coklat. Ada yang tahu kenapa??

Saran : Jangan taruh buku persis di sebelah dinding yang lembab.