Monday, April 27, 2009

Basket #9 - Kekalahan and The End of Basketball

Setelah berbicara tentang kemenangan pada seri ketujuh, baiklah aku akan membahas tentang kekalahan. Sekali lagi aku tekankan, tidak ada tim yang senang kalau timnya kalah, kecuali tim yang benar-benar hebat dan ingin berkembang lagi dengan kekalahan itu.
Kekalahan seringkali terasa menyakitkan, dan memiliki 2 arti untuk ke depannya. Yang pertama, semakin berkembang dengan kekalahan itu, tidak putus asa dan menjadikan kekalahan sebagai pemacu semangat untuk “lebih” lagi. Arti kedua, kekalahan bisa membunuh semangat kita. Sebagian besar kekalahan akan berakibat buruk yaitu kekalahan dalam arti kedua. Seringkali kita langsung “down” dengan kekalahan yang kita terima. Sebaiknya kita tidak berlama-lama bila dalam kondisi “down” seperti itu.
Tentu sebagai tim biasa yang juga punya kelemahan, tim St. Agnes juga pernah merasakan beberapa kekalahan dari lawannya. Kekalahan yang paling menyakitkan sudah pernah kubahas dalam seri Basket#6 – Kapten. Saat itu tim kalah 8-90 dari SMPN 1 Blitar dalam babak Fantastic Four DBL 2005. Itulah kekalahan angka terbesar yang pernah kurasakan selama ini. Bayangkan berita DBL kan dimuat di halaman Metropolis, Jawa Pos. Betapa malunya sekolah yang kalah, apalagi kalah dengan margin begitu besar!
Ada kekalahan terbesar satu lagi yang pernah kurasakan. Kekalahan ini kudapatkan mulai dari aku berada di SMP St. Agnes sampai di SMAK St. Louis 1. Ini bukanlah kekalahan angka, tetapi lebih kepada kalah mental sebelum bertanding. Sampai sekarang ini, tercatat sudah 3 kali bertemu sekolah Ciputra dan 3 kali itu pula timku kalah! Bayangkan, keledai saja katanya tak akan jatuh pada lubang yang sama. Bagaimana dengan tim basketku? Tak bisakah memperbaiki diri dengan kekalahan tersebut... Aku juga tak tahu. Hehe..
Aku masih ingat jelas kekalahan pertama dengan Ciputra. Saat itu babak semifinal dalam Stelma Cup 2006. Aku melihat tim Ciputra sangat kuat, semua pemainnya mampu berlari cepat dan tidak mudah menyerah dalam mengambil bola lawan, tak mau kalah dalam rebound. Belum lagi tubuh pemainnya rata-rata lebih besar dan tinggi daripada tim St. Agnes. Pertandingan saat itu berlangsung ketat. Lima menit pertama tak ada tim yang mampu membuat poin. Namun akhirnya Ciputra-lah yang membuat poin pertama. O ya, boleh percaya boleh tidak, yang membuat poin pertama kebanyakan akan menjadi pemenangnya. Setelah Ciputra mencetak poin, pertandingan semakin seru dan panas. Berkali-kali St. Agnes hampir mengungguli Ciputra, tetapi sebelum hal itu terjadi, selalu Ciputra yang berhasil memegang jalannya pertandingan. Aku sudah tak kuat berlari saat itu, matahari bersinar terik seperti membakar ubun-ubunku. Tak ada anggota tim yang digantikan cadangan, tandanya pemain utama harus berjuang mati-matian selama 40 menit pertandingan full. Tinggal satu quarter lagi Ciputra mengunci kemenangan. Pak Bambang menyuruhku menunggu di tengah lapangan, supaya kami bisa melakukan fast break. Walaupun aku sudah menunggu di tengah lapangan dan berhasil mendapatkan bola, para pemain Ciputra dengan cepatnya mengambil bola itu dari tanganku. Aku benar-benar sudah tak bisa berpikir dengan jernih lagi gara-gara hawa yang panas ini. Sungguh! Pikirku, tak apalah kalah dengan Ciputra, toh Ciputra memang hebat. Lain waktu bila bertemu kembali, itulah saat pembalasan. Tentu saja, akhirnya St. Agnes kalah. Yang patut disalahkan adalah fisik dan stamina kami. Betapa pedenya kami selama ini memiliki tim yang hebat, tetapi tak disangka kami harus menguras seluruh tenaga kami hingga 40 menit pertandingan di tengah panasnya matahari pula.
Next, St. Agnes bertemu lagi dengan Ciputra kira-kira sebulan sesudah kekalahan pertama. Kedua tim ini bertemu lagi dalam babak final Sanmar Cup. St. Agnes lagi-lagi tertinggal beberapa poin, dan sulit sekali untuk mengejar Ciputra. Pada kuarter ketiga, St. Agnes berhasil memperkecil margin menjadi 1 poin saja. Sayang, kuarter ketiga harus berakhir padahal semangat kami sudah menyala-nyala. Kuarter keempat inilah penentuan, harusnya kami sadar dan bukan malah bersantai. Ciputra sudah siap dengan man-to-man, sedangkan kami tidak menyangka mereka akan melakukan defense yang ketat. Bola dengan mudah direbut oleh lawan, akhirnya lagi-lagi kami kalah “berlari”. Harusnya kami belajar dari kekalahan itu, untuk lebih memperhatikan stamina dan fisik yang menjadi kendala terbesar.
Aku bertekad untuk bermain basket lagi di St. Louis. Namun, ternyata hal ini tak semudah yang kubayangkan. Tugas-tugas yang menumpuk, ulangan yang hampir setiap hari, belum lagi jadwal lesku yang padat membuat aku jarang datang latihan, dan tentu saja akhirnya aku tidak masuk tim. Aku baru mendapat kesempatan masuk tim pada kelas 2. Saat itu ada kesempatan untuk membalas kekalahan dari Ciputra. Saat itu St. Agnes Cup, kalau tidak salah, saat itu St. Louis menghadapi Ciputra pada babak semifinal. Aku melihat para pemain Ciputra tidak jauh berbeda dengan saat dulu SMP. Mereka masih tetap tangguh seperti dulu. Aku duduk di bangku cadangan dan baru bermain pada kuarter ketiga. Yang jelas, pertandingan berakhir dengan kemenangan Ciputra dengan margin lumayan besar. Kekalahan ini tidak terlalu menyakitkan bagiku dibandingkan dengan saat SMP, karena aku hanya bermain pada kuarter ketiga saja.
Kekalahan-kekalahan ini seharusnya membuatku semangat untuk bermain basket lebih dalam lagi, tetapi sekarang ini aku benar-benar tidak ingin bermain basket. Entah karena sudah lama tidak bermain, ataukah karena kenangan terakhir bermain basket yang sungguh menyakitkan...

1 comment:

Anonymous said...

Qt mengalami kekalahan yg sm d bidang yg brbeda.
Kmrn, aq pun jg mengalami kkalahan yg menyakitkan d NOMS. Sblmnya d UNUD, MEDSPIN, smua membuatq trjatuh.
Kekalahan tentu menyakitkan, tp dr situlah aq mrasakan arti hidup..
Kemenangan tdk akn trasa manis jika qt tdk mrasakan pahitnya kekalahan...